Kiamat nampaknya makin dekat, tanda-tandanya pun kian jelas. Simak saja, bumi sekarang sedang menderita ‘penyakit’ pemanasan bumi (Global Warming). Dari waktu ke waktu penyimpangan atau anomali cuaca terus berlangsung.
Merunut ke belakang, kerusakan bumi telah berlangsung sejak 150 tahun lalu bersamaan terjadinya revolusi industri. Pemicunya adalah penggunaan energi berlebihan, terutama energi fosil dari minyak bumi dan batubara yang menghasilkan karbon dioksida (CO2) berlebih sehingga meningkatkan volume gas-gas rumah kaca atau greenhouse gases di atmosfer yang berpotensi merusak lapisan ozon. Kondisi bumi semakin parah ketika penggundulan hutan besar-besaran untuk berbagai kepentingan ekonomi sesaat dilakukan tanpa kendali. Ditambah lagi penggunaan bahan-bahan kimia yang berpotensi merusak lapisan ozon, ikut menambah emisi CO2 sehingga bumi yang renta kian menderita.
Kesadaran menyelamatkan bumi mulai tumbuh pada awal dekade 1980-an. Bermula pada 1983 ketika PBB membentuk Komite Bruntland, dimana salah satu rekomendasinya adalah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) agar dilaksanakan secara konsisten. Komite ini menggarisbawahi bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan adalah memenuhi kebutuhan hidup generasi sekarang tanpa mengganggu kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kehidupan mereka.
Rekomendasi Bruntland ditindaklanjuti oleh berbagai kalangan dengan melahirkan beberapa prakarsa atau disiplin lainnya. Di antaranya Agenda 21/MDG’s (1992), Environmental Accounting (1992), Kyoto Protocol (1998), World Summit on Sustainable (2002), Equator Principles (2002), Environmental Management Accounting (2002), dan Bali Road Map (2007).
Inti dari prakarsa-prakarsa tersebut adalah, dunia industri harus menjalankan kegiatan usahanya bersadarkan prinsip ‘3-P’ (planet, people, profit). Artinya dalam meraup keuntungan (profit), perusahaan bertanggungjawb menjaga bumi (planet) dan peduli dengan manusia (people) baik karyawan maupun masyarakat di luar perusahaan.
Sampai sejauh mana perusahaan melaksanakan prinsip ‘3-P’ dapat dilihat dari laporan sustainability. Laporan sustainability memuat tiga aspek kinerja perusahaan yakni ekonomi, lingkungan, dan sosial. Laporan sustainability dikembangkan sejak tahun 1992. Standar internasional laporan sustainability dikembangkan oleh Global Reporting Initiative (GRI) yang berpusat di Amsterdam, Belanda pada tahun 2000. Hingga kini hampir 10.000 perusahaan di dunia telah menerbitkan laporan ini setiap tahun. Sedang di Indonesia, sampai sekarang tercatat hanya 20 perusahaan yang menerbitkan laporan sustainability.
Kreditibilitas laporan sustainability ditandai assurance statement oleh external assurance. Di Eropa semakin banyak Kantor Akuntan Publik (KAP) terutama the big four yang memberikan jasa assurance terhadap laporan sustainability. Sayangnya hal ini belum terlaksana di Indonesia, dimana jasa assurance atas laporan sustainability hanya diberikan oleh Kantor Konsultan. Padahal sejatinya KAP di negeri ini bisa memiliki kemampuan untuk itu, bila mencermati apa yang telah dikembangkan Institut Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI).
Promosi dan penyebarluasan standar laporan sustainability termasuk assurance standards telah dikembangkan IAMI sejak tahun 2005, dengan menggagas pembentukan “National Center for Sustainability Reporting (NCSR)”. Lembaga ini dibentuk bersama Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI), dan Indonesian-Netherlands Association (INA). NCSR memfokuskan pada pembangunan kapasitas dalam bidang sustainability management and reporting dengan mengadakan pelatihan dan ujian sertifikasi yaitu Certified Sustainability Reporting Specialist (CSRS), dan Certified Sustainability Reporting Assurer (CSRA). Dengan adanya pelatihan ini diharapkan Indonesia memiliki tenaga terampil dalam menyusun laporan sustainability dan atau assurance service.